Objek penelitian dalam skripsi ini adalah tiga guru Bahasa Inggris di salah satu Sekolah Dasar di Bandung. Dari hasil penelitian didapat bahwa ketiga guru menggunakan empat jenis tehnik penilaian yakni; projects, traditional-test, take-home task, and observation, and three feedbacks, namely corrective, evaluative, and strategic.
Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya.
Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic.
Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel. Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani.
Apa yang dewasa ini disebut 'tata bahasa tradisional' atau ' tata bahasa Yunani', penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini. Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional.
Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian 'bahasa yang baik', yaitu bahasa kaum terpelajar.
Petunjuk pemakaian 'bahasa yang baik' ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat 'merusak' bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya. Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark. Pada abad 19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis.
Dengan demikian dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia. 2) Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama.
Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol. Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad 19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa.
Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867). Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.
Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, L. Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill. Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky.
Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
Kata paradigma diperkenalkan oleh Thomas Khun pada sekitar abad 15. Paradigma adalah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan masalah ilmiah dalam kalangan tertentu. Paradigma dapat dikatakan sebagai norma ilmiah.
Contoh paradigma yang mulai tumbuh sejak zaman Yunani tetapi pengaruhnya tetap terasa sampai zaman modern ini adalah paradigma Plato dan paradigma Aristoteles. Paradigma Plato berintikan pendapat Plato bahwa bahasa adalah physei atau mirip dengan realitas, disebut juga non-arbitrer atau ikonis.
Paradigma Aristoteles berintikan bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip dengan realitas, kecuali onomatope, disebut arbitrer atau non-ikonis. Kedua paradigma ini saling bertentangan, tetapi dipakai oleh peneliti dalam memecahkan masalah bahasa, misalnya tentang hakikat tanda bahasa. Pertentangan antara kedua paradigma ini terus berlangsung sampai abad 20. Di bidang linguistik dan semiotika dikenal tokoh Ferdinand de Saussure sebagai penganut paradigma.Aristoteles dan Charles S. Peirce sebagai penganut paradigma Plato. Mulai dari awal abad 19 sampai tahun 1960-an paradigma Aristoteles yang diikuti Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik.
Tercatat beberapa nama ahli linguistik seperti Bloomfield dan Chomsky yang dalam pemikirannya menunjukkan pengaruh Saussure dan paradigma Aristoteles. Menjelang pertengahan tahun 60-an dominasi paradigma Aristoteles mulai digoyahkan oleh paradigma Plato melalui artikel R. Jakobson 'Quest for the Essence of Language' (1967) yang diilhami oleh Peirce. Beberapa nama ahli linguistik seperti T. Haiman, dan W. Croft tercatat sebagai penganut paradigma Plato. Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa.
Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat. Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara.
Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia?
Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat. Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris.
Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional. Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran - en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran - en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.
Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai.
Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English.
Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama. Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.
Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti.
Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti.
Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada dipasaran. Penelitian bahasa sudah dimulai sejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangun sejak awal abad 3 SM di kota Alexandria.
Kamus bahasa Inggris, Dictionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pada tahun 1884 telah diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya.
Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka (UCLA, MIT, Oxford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu buktinya adalah buku The Comprehensive Grammar of the English Langauge, yang terdiri atas 1778 halaman, yang acara peluncurannya di buka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammar of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang tergabung dalam tim peneliti internasional dari lima negara. Weblog yang terlahir dari kesulitan penulis untuk menghimpun bahan perkuliahan bagi mahasiswa STBA JIA Bekasi terutama mata kuliah metodologi riset, sehingga blog sederhana ini hanya berisikan ikhtisar /rangkuman materi /artikel yang diambil dari suntingan berbagai sumber ya ng dija dikan koleksi tulisan dan mohon maaf kalau ada kehilapan penulis terhadap beberapa tulisan yang saya sunting dari sumber lain yang belum mencantumkan sumber URL-nya.
Mudah-mudahan blog sederhana ini bisa diterima juga oleh khalayak pemerhati penelitian khususnya untuk membantu mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyusun skripsi/tesis, walau masih terlihat mentah tulisannnya tapi bisa berbagi ilmu dan saya persilahkan untuk bebas meng- copy paste tulisan/artikel tanpa mencantumkan nama atau situs ini. Tegur dan sapa saya harapkan, semoga bermanfaat. Ahmad Kurnia Penyunting.
Judul Skripsi: Penerjemahan Idiom dan Gaya Bahasa (Metafora, Kiasan, Personifikasi, dan Aliterasi) dalam Novel ” To Kill A Mockingbird” Karya Harper Lee dari Bahasa Inggris Ke Bahasa Indonesia (Pendekatan Kritik Holistik) A. Latar Belakang Masalah Saat ini banyak karya sastra dunia berupa drama, novel dan puisi telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Jika kita berkunjung ke toko buku, kita akan melihat sejumlah karya fiksi hasil terjemahan, baik untuk pembaca dewasa maupun anak-anak. Karya-karya terjemahan itu jauh melampaui jumlah karya asli pengarang Indonesia. Namun apakah aspek kuantitas ini juga disertai kualitas yang memadai? Kita tahu bahwa kualitas terjemahan di Indonesia sering digugat.
Memang tidak sedikit karya terjemahan di Indonesia yang membuat pembacanya berkerut kening karena ia harus mereka-reka sendiri apa gerangan maksud tulisan di hadapannya. Kadang-kadang suatu naskah terjemahan baru dapat dipahami apabila kita membaca naskah aslinya (Setiadi dalam Taryadi, 2007). Menerjemahkan karya tulis baik itu karya sastra maupun karya non-sastra dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain adalah suatu pekerjaan yang tidak hanya sekadar mengalihbahasakan suatu karya (Toer, 2003). Novel, sebagai bentuk karya sastra yang lengkap dan luas, banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Menerjemahkan novel tampaknya tidak semudah menerjemahkan teks biasa. Banyak penerjemah novel yang menghadapi kesulitan pada saat menerjemahkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut meliputi berbagai macam aspek, di antaranya aspek linguistik, aspek budaya dan aspek sastra.
Hal ini sejalan dengan pendapat Robinson (1977) dan Newmark (1988) yang dikemukakan oleh Suparman (2003: 144- 145) bahwa secara garis besar kesulitan-kesulitan itu mencakup aspek kultural seperti pengaruh budaya, aspek bahasa dan juga tujuan moral yang tersirat dalam karya sastra itu. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana. idiom. metafora.
kiasan. personifikasi. aliterasi pada novel ” To Kill a Mockingbird” diterjemahkan dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia? Kajian Pustaka Definisi Penerjemahan Setiap pakar penerjemahan memiliki versi yang berbeda-beda tentang definisi penerjemahan. Nida (1969:12) menyatakan bahwa menerjemahkan ialah mereproduksi padanan yang wajar dan paling dekat dengan pesan bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa sasaran (Bsa), pertama yang berhubungan dengan arti dan kedua yang berhubungan dengan gaya. “ Translation consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalence of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style.” Kajian Novel Watkins dalam Hu (2000:3) mengatakan bahwa karya sastra terbagi ke dalam beberapa kategori atau jenis, yaitu puisi, drama dan prosa fiksi. Prosa fiksi adalah sebuah cerita khayalan atau tidak nyata.
Bahasa yang digunakan dalam prosa fiksi ini berbeda dengan bahasa yang digunakan di dalam puisi yang berprinsip pada rima, ritme, atau matra. Prosa fiksi adalah karya sastra yang dapat dibaca dalam bentuk novel atau cerita pendek. Selain daripada itu, karya sastra ini dapat ditayangkan dalam bentuk film atau sinetron.
Ceritanya berbentuk alur yang padat dengan gambaran ragam peristiwa yang biasanya dinarasikan oleh seorang narator. Penerjemahan Novel Menerjemahkan karya sastra berbeda dengan menerjemahkan karya non-sastra.
Seorang penerjemah karya sastra harus memiliki pengetahuan linguistik bahasa sumber (Bsu) dan bahasa sasaran (Bsa), pemahaman budaya Bsu dan Bsa dan apresiasi yang mendalam terhadap karya sastra yang diterjemahkannya. Sebagaimana yang disitir oleh Zuchridin Suryawinata (1996: 173) bahwa seorang penerjemah karya sastra harus memiliki kecakapan dalam bidang kebahasaan, kesastraan dan estetika, dan sosial budaya, sehingga dalam hal ini bisa dikatakan bahwa jika seorang penerjemah karya sastra itu tidak memiliki faktor-faktor tersebut, dia akan mengalami kesulitan dalam menerjemahkan karya sastra. Pengertian Idiom Crystal (1985: 152) menyatakan bahwa idiom atau idiomatik adalah istilah yang digunakan dalam grammar dan lexicology yang merujuk kepada serangkaian kata yang terbatas secara semantis dan sintaksis, sehingga hanya berfungsi sebagai satuan tunggal ( single unit). Misalnya ungkapan It’s raining cat and dogs tidak bisa diterjemahkan satu persatu karena ungkapan tersebut adalah ungkapan idiomatik (idiomatic expression) yang harus diterjemahkan secara idiomatik juga, sehingga terjemahannya menjadi ’Hujan lebat’. Metodelogi Penelitian Dalam penulisan ini metode penulisan yang digunakan adalah penulisan studi kasus dengan pendekatan kritik holistik yang membidik tiga faktor: objektif, genetik, dan afektif (Sutopo, 2006). Data yang digunakan dalam penulisan ini hanya mencakup data primer yang terdiri dari tiga kategori:. Tuturan-tuturan yang mengandung idiom, metafora, kiasan, personifikasi, dan aliterasi yang terdapat dalam novel TKM yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Pernyataan-pernyataan informan yaitu dari penerjemah novel TKM. Tanggapan para pembaca tentang tingkat kesepadanaan, keberterimaan, dan keterbacaan hasil terjemahan. Sumber data dalam penulisan adalah. Novel TKM dan terjemahannya dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia,. Penerjemah novel TKM. Para pembaca ahli (para dosen sastra Inggris) dan pembaca awam (para mahasiswa sastra Inggris).
Data dalam penulisan ini dikumpulkan dengan menggunakan tiga macam teknik pengumpulan data, yaitu teknik dokumentasi, teknik wawancara, dan teknik kuesioner. Simpulan Dari faktor objektif ditemukan bahwa idiom secara umum diterjemahkan sesuai dengan metode dan teknik yang tepat. Idiom diterjemahkan dengan menggunakan metode penerjemahan idiomatik sebesar 46,8% dan menggunakan teknik tidak langsung sebesar 98%. Teknik-teknik tidak langsung yang digunakan adalah teknik kesepadanan lazim, transposisi, modulasi, dan adisi.
Dengan demikian dalam menerjemahkan idiom ini penerjemah cenderung pada ideologi domestikasi, artinya bahwa dia lebih condong pada bahasa sasaran. Kecondongan pada bahasa sasaran tersebut mencapai angka sebesar 66,8%. Jika ditinjau dari kualitas terjemahannya, tuturan idiom ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran hingga mencapai tingkat kesepadanan yang akurat sebesar 59%, tingkat keberterimaan yang berterima sebesar 61,7%, dan tingkat keterbacaan yang tinggi sebesar 48,9%. Selanjutnya tuturan metafora diterjemahkan dengan menggunakan metode harfiah sebesar 80% dan menggunakan teknik langsung sebesar 76%. Teknik-teknik langsung yang digunakan adalah teknik literal dan peminjaman murni. Dengan demikian dalam menerjemahkan metafora ini penerjemah cenderung pada ideologi foreignisasi, artinya bahwa dia lebih condong pada bahasa sumber.
Kecondongan pada bahasa sumber ini mencapai angka sebesar 84%. Kemudian jika ditinjau dari kualitas terjemahannya, tuturan metafora ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran dengan tingkat kesepadanan kurang akurat sebesar 36%, tingkat keberterimaan kurang berterima sebesar 80%, dan tingkat keterbacaan yang sedang sebesar 52%.